Monday, November 9, 2009

Fadhilah Puasa

Fadhilah Puasa

Dengan Menyebut nama Allah Yang Pemurah dan Pengasih

“Wahai orang-orang mukmin, puasa Ramadhan telah diwajibkan atasmu seperti yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa. Yaitu dalam hari-hari yang telah ditentukan (yakni penuh satu bulan). Maka siapa sakit diantaramu, atau tengah bepergian, maka wajiblah berpuasa di hari-hari lain, sebagai pengganti hari-hari yang ditinggalkan.” (QS Al- Baqarah 2: 183 -184)

Riwayat wajibnya puasa

Sehubungan dengan perang menundukkan nafsu syahwat, telah diceritakan dalam proses diwajibkannya puasa, demikian:


Bahwasanya Allah swt setelah selesai menciptakan akal, berfirman: “Hai akal menghadaplah kamu kepadaKu”, maka dengan segera akal menghadapNya. Lalu Allah menyuruhnya: “Mundurlah hai akal, maka ia segera mundur mentaati perintah Allah swt. Kemudian Allah bertanya: ” Hai akal, siapakah sebenarnya kamu dan Aku ini ?” jawabnya: ” Ya Allah, Engkaulah Tuhan sesembahanku, sedang aku hanyalah hambaMu yang lemah.” Akhirnya akal dipuji oleh Allah dengan firmanNya: “Hai akal, tiada makhluk yang Kuciptakan lebih mulia dibandingkan kamu.”
Kemudian Allah swt ciptakan pula nafsu, dan ketika ia dusuruh menghadap Allah, sepatah katapun tiada jawaban darinya, bahkan ketika ditanya: “Siapa kamu, dan siapa Aku ?” Jawabnya: “Aku ya aku, Kamu ya Kamu”. Maka dengan demikian ia patut menjalani hukuman, akibat tidak tahu diri, ia disiksa dilemparkan ke dalam kobaran api neraka jahanam selama 100 tahun, dan setelah habis masa hukumannya, ia dikeluarkan dari neraka, lalu ditanya:”Siapa sebenarnya engkau, dan siapa pula Aku? Jawabnya tiada berbeda dengan dulu: “Aku ya aku, Engkau ya Engkau”.
Akhirnya ia dihukum lagi, tapi kali ini ia dilemparkan ke dalam neraka lapar selama 100 tahun, sehabis masa hukuman ia ditanya lagi tentang diri dan Penciptanya, maka berkat hukuman lapar (puasa) ia mengakui bahwa dirinya adalah seorang hamba yang lemah, dan Allah Tuhannya, itulah sebabnya Allah mewajibkan puasa baginya.

Tingkatan Puasa.
Puasa ada 3 tingkatan, yaitu: “Puasa Umum, puasa khusus dan puasa khawashul khawaah.
Puasa umum, yakni puasa yang dikerjakan oleh kebanyakan umat (orang awam), ialah mengekang diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri.
Puasa khusus, yakni puasa yang dikerjakan oleh kebanyakan para shalihin, ialah mengekang anggota badan dari segala perbuatan dosa, yang demikian ini dapat tercapai, hanya dengan menguasai 5 perkara secara langgeng, yaitu:
Menundukkan pandangan mata dari hal-hal yang tercela menurut agama.
Memelihara lisan dari ghibah, dusta, adu-domba dan sumpah palsu, yang demikian ini bertolak dari hadits riwayat Anas ra, Nabi saw bersabda: “Ada 5 hal yang dapat membinasakan pahala puasa, yaitu: Dusta, ghibah, adu-domba, sumpah palsu dan memandang penuh syahwat.”
Memelihara telinga dari mendengarkan yang dibenci oleh agama.
Memelihara segenap anggota tubuh dari hal-hal yang dibenci oleh agama. Memelihara perut dari makan yang syubhat ketika berbuka, sebab apa artinya puasa dengan mengekang makan halal disiang hari, lalu berbuka dengan haram, demikian ini bagaikan orang membangun sebuah gedung ditengah kota, lalu kota tersebut dihancur-binasakan. Dalam hal ini Nabi saw bersabda: “Kebanyakan orang berpuasa tidak mampu memetik hasilnya, kecuali lapar dan dahaga”.
Tidak terlalu banyak mengisi perut, di saat berbuka, sekalipun dengan makanan halal, sebab Nabi saw bersabda: “Tiada orang yang lebih dibenci oleh Allah, dibandingkan orang yang suka memenuhi perutnya, sekalipun makanan yang halal”.

3. Puasa khawashul khawash, ialah memelihara gerak hati dari tujuan hal-hal yang bersifat dunia semata, dan tidak semata memikirkannya, dan mengekangnya dari niat atau memikirkan selain Allah.

Bagi tingkatan puasa demikian, apabila memikirkan hal-hal selain Allah, maka gugurlah puasanya, inilah puasa yang setingkat dengan puasanya para Nabi dan para shiddiqin. Dan pada hakekatnya kedudukan ini, menghadapkan jiwa raga sepenuhnya kepada Allah, dan berpaling dari selain Dia.

Hikayat
Ada seorang majusi melihat anaknya tiada tahu diri dalam bulan Ramadhan makan di pasar, lalu ia menghajarnya dengan pukulan, katanya: “Kenapa kamu tidak tahu diri dalam bulan Ramadhan, yang seharusnya engkau pandai menghormati umat Islam yang tengah berpuasa?” Yang demikian ini adalah sikap dan tindakan seorang majusi penyembah api atau katakanlah orang musyrik dalam mendidik anaknya. Kemudian bagaimanakah dengan sikap kita di negeri ini dewasa ini yang nota bene 95% mengaku beragama Islam, dalam menghormati Ramadhan?
Alkisah, orang majusi itu meninggal dunia, dan pada suatu malam seorang ‘alim mimpi bertemu dengannya, ia berada di ranjang indah di sorga, ketika ditanya: “Lo anda kan orang Majusi, kenapa di tempat ini?” Jawabnya: “Betul, semula memang aku orang Majusi, tetapi menjelang maut tiba, tersentuh hatiku untuk memeluk Islam, saat itu aku dengar seruan di atasku: “Hai para malaikatKu, jangan biarkan ia mati tersesat dengan agama majusinya, angkatlah dia menjadi seorang muslim terhormat, sebab ia telah menghormati bulan suci Ramadhan”.

Motifasi
Dengan menyimak ceritera tersebut di atas, hendaklah cukup menjadi pendorong (motifasi) bagi masyarakat untuk melaksanakan hak bulan Ramadhan dan menghormatinya, karena kita harus optimis dengan anugrah iman sebagaimana yang diperoleh orang majusi tersebut, ia memperoleh anugrah iman, hanya dengan menghormatinya apalagi jika mau melaksanakan puasa Ramadhan penuh keyakinan dan keikhlasan jiwanya.
Nabi saw bersabda: “Siapa lega hati, menyambut kehadiran bulan Ramadhan, pasti Allah mengharamkan tubuhnya atas neraka apa saja.”

Nabi saw bersabda: “Pada malam pertama bulan Ramadhan, Allah berfirman: “Siapa mencintaiKu, pasti Akupun mencintainya, siapa mencari rahmatKu, pasti rahmatKupun mencarinya, dan siapa beristighfar kepadaKu, pasti Aku mengampuninya, berkat hormat Ramadhan, lalu Allah menyuruh malaikat mulia pencatat amal, khusus dalam bulan Ramadhan supaya menulis amal kebaikan semata, tidak mencatat laku kejahatan mereka, umat Muhammad, dan Allah menghapus dosa-dosa terdahulu bagi mereka.”

Renungan
Sekarang semuanya kembali pada diri kita masing-masing, apakah kita mampu melawan hawa nafsu kita sendiri, karena pada bulan suci Ramadhan hampir bisa dipastikan bahwa kita tidak diganggu oleh syetan, karena syetan-syetan dibelenggu sesuai dengan hadits Nabi SAW sebagai berikut: dari Abu Hurairah Ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, “Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga akan dibukakan dan pintu-pintu neraka akan ditutup serta syetan-syetan akan dibelenggu.” (HR Bukhari No. 1898 dan Muslim 1079).

Mari kita hormati bulan suci Ramadhan dengan menjalankan ibadah puasa serta ibadah-ibadah lainnya. Agar kita tergolong orang-orang yang mampu mengatasi hawa nafsunya sendiri, mendapatkan tambahan keimanan supaya kita bisa lebih bertaqwa kepada Allah dengan mendapatkan Ridho-Nya untuk mencapai satu tujuan yaitu Surga.

Satu tahun tidak terasa.
Ramadhan telah kembali mengunjungi kita.
Semoga yang dilalui dan dilakukan.
Menjadikan kebaikan di bulan suci ini.
Marhaban yaa Ramadhan.

Taqabalallahu Minna Waminkum.

No comments:

Post a Comment